Istilah Kebangsawanan Dalam Adat Bugis Makassar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebutan Andi, Karaeng, dan Daeng atupun Puang sering kita dengar
dalam istilah Bugis Makassar. Sebutan ini
mrupakan bentuk penghargaan atau penanda status kebangsawanan seseorang.
Namun di zaman rewasa ini sebutan ini perlu diperkenalkan bagi
generasi-generasi muda.
Di dalam kemasyarakatan
bugis maupun makassar dikenal dengan adanya tradisi kebudayaan dan adat
istiadat dimana kebudayaan dan adat itu berasal dari para Leluhur mereka dimasa
kerajaan dahulu kala yang merupakan kebiasaan serta tradisi dalam hubungan
bermasyarakat. Atda aturan tertentu yang telah diatur dan ditetapkan oleh dewan
adat kerajaan atau biasa kita dengar Pangngadakkan dengan salah satu contoh
yaitu. mengenai Gelar atau Panggilan khusus bagi para kaum bangsawan serta
orang-orang biasa. Ada beberapa panggilan atau gelar yang dilekatkan pada kaum
bangsawan antara lain : Gelar Puang,Gelar Dato' (Datuk), Gelar
Karaeng,Tetta/Petta/Etta, Opu/Bau, Daeng, serta Andi. Dalam masyarakat bugis
makassar lazim kita dengar dengan adanya beberapapa sebutan atau gelar sebagian
orang-orang bugis dan makassar. Namun tak semuanya dapat dipanggil dan digelar
seperti itu, hanya sebagian orang bugis makassar yang memang pantas dipanggil
seperti itu yaitu yang asalnya dari darah bangsawan. Atau keturunan raja.*Gelar
Puang" Panggilan puang ini dapat kita lekatkan kepada sang pencipta yaitu
Allah SWT yang biasa kita sebut Puatta Marajae, Tuhan yang kuasa atas segalanya
atau Puang Allahu SWT Namun dapat juga dilekatkan pada manusia sebagai
perwakilan Tuhan dimuka bumi yang menyandang sebagai khalifa Allah yang mulia
disisi Allah SWT. Manusia dapat di gelar sebagai puang dimuka bumi ini tak lain
adalah para kaum penguasa atau seorang Raja yang baik, arif, dan bijaksana,
serta adil dan memiliki keberanian. Disinilah kemulian yang melekat pada diri
seoarang manusia ketika dia di gelar sebagai Sang Puang. Dan bukan sekedar
gelaran saja tetapi suatu tanggung jawab yang besar untuk menjaga nama dan
reputasi Kepuangannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah asal usul dan penggunaan Gelar Andi pada
Bangsawan suku Bugis Makassar ?
2.
Bagaimanakah asal usul dan penggunaan Gelar
Karaeng pada Bangsawan suku Bugis
Makassar?
3.
Bagaimanakah asal usul dan penggunaan Gelar Daeng pada Bangsawan suku Bugis Makassar?
4.
C.
Tujuan
1.
Mengetahui asal
usul dan penggunaan Gelar Andi pada Bangsawan suku Bugis Makassar.
2.
Mengetahui asal
usul dan penggunaan Gelar Karaeng pada
Bangsawan suku Bugis Makassar.
3.
Mengetahui asal usul dan penggunaan Gelar Daeng pada Bangsawan suku Bugis Makassar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gelar Andi Pada Bangsawan Bugis
Asal-usul gelar andi yang disematkan
di depan nama bangsawan bugis memang menjadi pertanyaan banyak orang.
Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan ataupun cerita orang-orang tua dulu
tentang awal mula munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis, namun belum
ada yang dapat menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan
rujukan mutlak.
Dari beberapa sumber yang kami
dapatkan, maka dapat diuraikan secara singkat tentang penggunaan nama Andi
sebagai gelar yang digunakan para bangsawan Bugis. Sebutan “Andi” adalah
sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil genetis (keturunan) Lapatau,
pasca Bugis merdeka dari orang Gowa.” Andi” ini dimulai ketika 24 Januari 1713
dipakai sebagai extention untuk semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan
putri Raja Bone sejati, Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan
kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa),
Lapatau dengan putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu Lapatau
dengan putri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja
sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes.
Perkawinan tersebut sebagai upaya
VOC untuk membangun dan mengendalikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan
alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian
bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly
diminta tinggalkan bumi sawerigading (Celebes).
Siapa yang pungkiri kalau (Alm)
Jendral Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis, tetapi beliau enggan memakai
produk exlusivisme buatan VOC. Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang
Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis
tetapi beliau tidak memakai gelar “Andi” karena bukan keturunan langsung
Lapatau.
Dalam versi lain, walaupun
kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara
tertulis dalam “Lontara” tetapi ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu
referensi penggunaan nama “Andi” tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi
Karaeng Sigeri hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir
dengan istilah “Rompana Bone“. Dalam menghadapi Belanda dibentuklah pasukan
khas yaitu pasukan “Anre Guru Ana’ Karung” yang di pimpin sendiri Petta
Ponggawae. Dalam pasukan tersebut tidak di batasi hanya kepada anak-anak Arung
(bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang orangtuanya
mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak pabbicara’e,
salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to meredaka. Mereka
mempunyai ilmu sebagai “Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti“. Anggota pasukan
tersebut disapa dengan gelaran “Andi” sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang
rela mati demi patettong’ngi alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan
rajanya).
Menurut cerita orang-orang tua Bone,
Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelaran “Andi” atau “Petta”
dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan “Nigatu Wija idi’
Baco/Baso? (anda keturunan siapa Baso/Baco?). Baso/Baco adalah sapaan untuk
anak laki-laki. Jika mereka menjawab “Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah
hambanya Petta Pole)”, maka Petta Imam Poke mengatakan “Koki tudang ana
baco/baso” (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya,
maka nyatalah bahwa “Andi” mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola,
cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta mengatakan “oohh, enreki mai ana
baco” sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah “Andi” mereka
pakai karena geleran bagi anak ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka
yang pernah ikut dalam pasukan khas tersebut.
Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar “Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar “Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Kelihatannya kita harus membuka
lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La
Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama
maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang
yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung
juga semakin sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah,
salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri
Passalama’e Anre Gurutta H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar mesjid
Raya Bone)…
Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis Weddings’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).
Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis Weddings’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).
Penggunaan Andi saat itu juga
beragam di setiap kerajaan. Soppeng misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi
adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga
keturunan ketujuh.
Dari sumber berikutnya dapat kami
uraikan sebagai berikut. Gelar Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada
sejak adanya kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan
Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu
disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak
semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau.
Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar
Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya.
Gelar kebangsawanan lainnya,
mengikut kepada pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang,
Arung, Petta, dan lain-lain. Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang
didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan,
di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu
dipanggil Opu.
Adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul.
Gelar
“Andi” baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905,
Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan
kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur
(Pemerintah Pribumi/Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda)
untuk Onder Afdeling. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan
dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone,
Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi
didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui
bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini yang
kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap
kemerdekaan/penjajahan.
Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari
pemimpin-pemimpin anang/kampung/wanua sebelum datangnya To Manurung/To Tompo.
Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung dengan nama
alias/gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama kampung/kondisi/perilaku
bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok
anang/masyarakat maupun secara kekerasan (peperangan bersenjata) yang
selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika
dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih
tinggi/kuat.
Sedangkan To Manurung dan To Tompo
yang, ‘asal usul’ dan ‘namanya’ kadang-kadang tidak diketahui dan segala
kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok
pimpinan kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok dikalangan
kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang berarti pula pondasi
dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk –dimana tanah/wilayah,
pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah terpenuhi.
Penguasa/Raja biasanya kawin dengan
sesama To Manurung/To Tompo [jika dia 'ada'/muncul tanpa didampingi
pasangannya] dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan
bangsawan lokal yang sudah ada sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi
dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar, barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai
diterapkan oleh Arung Palakka.
FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU) Tahun 1871-1895
We Fatimah Banri atau We Banri Gau
Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi
Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah
dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak
dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri
Gowa.
Yang menjadi tanda tanya adalah : Apakah
sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan
nama/gelar itu sebelumnya?
Mengapa kata ‘Andi’ yg
digunakan/disepakati sebagai penandaan gelar bagi kaum bangsawan Sulawesi
Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden
atau Uwak atau dan lain-lain?
Urgensi tata cara pandangan dalam
asal-usul Andi itu sebenarnya karena tata cara pandang tergantung nara sumber
data yang dimilki.Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu : Apabila yg memakai data dari sytem
pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa
Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu :
Apakah pemberian nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah
melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti
Belanda semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah
ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan
orang anti Belanda?
Dari pertanyaan diatas dapat
disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur. Apabila data
yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau
akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama
sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri
menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi
Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La
Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser
saat itu hingga mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai
dayak hingga Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi
saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Kerajan Kutai diberikan nama oleh
masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh
masyarakat setempat menjadi Tenggarong.
Ini juga menjadi data akurat bahwa
nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan
akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda,
Portugis hingga Inggris sulit menyebut huruf “R”.
Data yg paling cukup kuat adalah
bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan
bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu
dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat
luar melekatkan nama Andi didepannya.menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh
di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki).
Dari beberapa uraian yang dipaparkan
di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelar “Andi” bagi
bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi
setidaknya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.
B. Gelar Karaeng Pada Bangsawan Bugis Makassar
Menurut sejarah,bahwa asal mula ‘karaeng’
adalah ‘daeng’.Ketika bentuk pemerintahan “kakarean” di bumi Turatea berubah
menjadi “kakaraengan’ maka beberapa perwakilan masyarakat diberi amanah untuk
mencari seorang untuk diangkat menjadi raja ‘karaeng’,maka dipilihlah diantara
bangsawan yang bergelar ‘daeng’ menjadi ‘karaeng’ dan namanya tetap memakai
Daeng,seperti Raja/Karaeng pertama Kakaraeng Binamu,Makgaukan Daeng Riolo
Karaeng Binamu I, Raja/Karaeng Tolo pertama,Pateala Daeng Nyauru Karaeng
Tolo,jadi gelar ‘karaeng’ diikuti nama tempat/kerajaannya.Yang dipilih menjadi
‘Karaeng’ adalah orang yang berakhlak mulia,antara lain jujur,ramah,rendah
hati,tekun beribadah,cerdas,teguh pendirian,bertanggung jawab,berani dalam
kebenaran,beriman dan taat beribadah kepada Allah,dan sebagainya.
Dari
sifat-sifat ‘karaeng’ yang diinginkan oleh masyarakat tersebut di atas maka
jelaskan bahwa bangsawan ‘karaeng’ yang sesungguhnya adalah keluhuran budi
pekerti,bukan dilihat dari keturunannya. R.A Kartini dalam buku “RA Kartini
alam Sebuah Biografi” mengatakan bahwa bangsawan yang sesungguhnya adalah
bangsawan budi pekerti.Dengan demikian,’karaeng’ dalam masyarakat Jeneponto
dibagi atas dua kelompok,yaitu Karaeng karena keluhuran budi pekertinya dan
karaeng karena keturunan.Karaeng karena keluhuran budi pekertinya itulah yang
selalu dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi pemimpinnya,baik sebagai kepala
desa mapun sebagai bupati.Karaeng hanya karena keturunan semata kadang tidak
tahu apa itu karaeng sehingga perbuatannya kadang keluar dari garis
‘kekaraengan’nya,antara lain berakhlak buruk,seperti minum-minuman
keras,berjudi,bermain perempuan,terlibat pencurian dan sebagainya.Karaeng
seperti ini biasanya kurang dihormati dalam masyarakat karena sesungguhnya yang
dihormati masyarakat buka gelarnya melainkan akhlak kebangswanannya.
Dalam masyarakat Islam Kabupaten
Jeneponto,‘Karaeng’ dipakai pula untuk menyeru nama Allah,seperti ketika berdoa
diucapkan “Oh Karaeng” atau “Oh Karaeng Lompo”.Dalam ceramah-ceramah atau
khutbah Jumat pun kadang ada ustaz yang mengucapkan “Karaeng Allah Taala” atau
“nakana Karaeng Allah Taala” (Firman Allah).Gelar ‘Karaeng’ yang sesungguhnya
gelar untuk manusia dipakai pula sebagai gelar Allah”,hal ini tentu kurang
pantas kita lakukan karena telah menyamakan sapaan atau gelar manusia dengan
gelar Tuhan/Allah,bukankah dalam Islam kita tidak boleh menyamakan sesuatu
apapun antara Allah dengan ciptaan-Nya ?.
Telah disampaikan dalam Al Quran
bahwa Allah memiliki nama-nama yang agung (asma-ul husna),dalam berdoa adau
dalam berkomunikasi dengan Allah kita disyariatkan memakai asma-ul husna dan
kita diperintahkan untuk meninggalkan orang-orang yang menyimpan dari
penyebutan nama Allah (QS.Al A’raaf:180 ),dengan demikian,menutut ayat ini kita
dilarang menyebut-nyebu atau menyeru Allah dengan sebutan di luar asma-ul
husna,seperti menyeruhnya “oh Karaeng Lompo” sedangkan ada manusia yang juga
bernama Karaeng Lompo.
Karaeng dalam masyarakat Islam
kadang menjadi ajang keosombongan bagi pemakainya,karena mereka menganggap
dirinya lebih tinggi keturunannya daripada manusia lainnya yang bukan
bangsawan, diantaranya ada yang mengikuti kepercayaan/mitos bahwa nenek moyang
bangsawan berasal dari dunia khayangan ‘tomanurun’ atau turun dari
khayangan/langit.padahal Allah sangat membenci orang-orang sombong lagi
membangga-banggakan diri,dan Islam telah mengajarkan dihadapan Allah semua
manusia adalah sama,kakek nenek kita memang orang turun dari khayangan/langit
(Adam dan Hawa), yang membedakannya
hanyalah kadar ketakwaannya,bukan dari gelar kebangsawannya.Orang bangsawan dihadapan
Allah adalah orang yang menyadari dirinya sebagai hamba Allah yang dibuktikan
dengan ketaatan beribadah dan keluhuran budi pekertinya terhadap sesama manusia
,yang tidak meninggi-ninggikan diri dan tidak pula merendahkan
sesamanya.Bangsawan ‘Karaeng’ yang sombong terhadap sesamanya dan terhadap
Allah (malas beribadah) akan menikmati kelak ‘kekaraengan’ di dalam neraka yang
disaksikan oleh-orang yang pernah dihina atau direndahkannya.
Bagi
Masyarakat Suku Makassar,’Karaeng’ mengandung tiga makna,yaitu karaeng sebagai
gelar jabatan pemerintahan;karaeng sebagai gelar bangsawan dan karaeng sebagai
sapaan penghormatan.
1. Karaeng sebagai gelar jabatan pemerintahan.
Sebelum
tahun 1867 masyarakat dan wilayah Turatea (nama lain Jeneponto) berada dalam
kekuasaan Sombayya Ri Gowa (Kerajaan Gowa),Payunga Ri Luwu (Kerajaan Luwu), dan
Arung Ri Bone (Kerajaan Bone).Pemerintahan di wilayah Turatea berbentuk
‘Kakareang’,yang rajanya disebut ‘Kare’.Wilayah Turatea terbagi atas beberapa
‘kakareang’,antara lain Kakareang Layu,Kakareang Tolo,Kakareang Manjang
Loe,Kakareang Tina’ro dan lainnya sebagai wilayah Kerajaan Gowa.Kakareang
Kakareang Rumbia sebagai wilayah Kerajaan Luwu,sedangkan Kakareang Tarowang
sebagai wilayah Kerajaan Bone.Namun setelah memerdekakan diri dari kekuasaan
kerajaan lain,maka kekareang tersebut membentuk kerajaan sendiri yang disebut
‘Kakaraengan’ yang rajanya disebut ‘Karaeng’.Karaeng diletakkan antara nama
diri dengan nama kakaraengan,seperti Makgaukan Daeng Riolo Karaeng Binamu I,
Pateala Daeng Nyauru Karaeng Tolo I,Karaeng Bontorappo,Karaeng Rumbia,Karaeng
Arungkeke dan sebagainya.
Setelah
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 pemerintahan yang berbentuk
kerajaan ‘kakaraengan’ di Bumi Turatea diubah menjadi Bupati,begitupun
pemerintahan di bawahnya menjadi kecamatan, desa atau lurah,maka ‘Karaeng’
sebagai gelar pejabat pemerintahan berangsur-angsur tak terpakai lagi.
2. Karaeng sebagai gelar kebangsawanan
Setelah
gelar ‘karaeng’ sebagai gelar jabatan pemerintahan tidak populer lagi maka para
keluarga bangsawan turunan raja berusaha mempertahankan jati diri kebangsawanan
sebagai turunan keluarga raja maka dipakailah ‘karaeng’ sebagai gelar
kebangswanan khusus keluarga turunan raja,yang waktu itu disepakati melalui
aturan adat istiadat yang disebut ‘Lontarak Bilang’ bahwa yang boleh memakai
gelar ‘karaeng’ hanyalah turunan raja/‘karaeng’.Dan dari lontarak bilang
diketahui bahwa masyarakat Jeneponto menganut sistem kekerabatan
‘Patrilinear,yaitu kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ayah.Dalam aturan
adat tersebut ditetapkan bahwa yang berhak memakai gelar ‘karaeng’ adalah
bangsawan yang ayahnya seorang ‘karaeng’ sedangkan ibu (bangsawan karaeng atau
tidak) tidaklah menjadi persoalan.Bilamana seorang wanita bangsawan karaeng
kawin dengan lelaki yang bukan bangsawan karaeng,maka hak memakai gelar
‘bangsawan ‘karaeng’ akan hilang secara adat,dan masyarakatpun menjulukinya
sebagai orang yang ‘attakbura minnyak’ (tertumpah minyak),artinya gelar
‘karaeng’nya tidak bisa dipungut lagi dan harus mengikuti garis keturunan ayah
yang bukan ‘karaeng’.
‘Karaeng”
sebagai gelar bangsawan memiliki pesona tersendiri dalam masyarakat.Karaeng
akan memberi kharisma pemakainya bilamana dihiasi dengan akhlak yang
mulia,seperti ramah,suka menolong dan tidak membeda-bedakan dalam
pergaulan.Dalam masyarakat, ‘karaeng’ biasa diperlakukan lebih istimewa
daripada masyarakat yang lain,misalnya di kampung penulis,Palajau Desa Palajau
Kecamatan Arungkeke Kab.Jeneponto,bilamana ada masyarakat yang bukan bangsawan
melakukan hajatan dan pada suatu jamuan bersama dengan orang-orang
lainnya,orang yang berlabel ‘karaeng’ ditempatkan di posisi yang teratas,dijamu
dengan cangkir kembar (dua cangkir minumannya),piring makanannya dialas dua
lapis ,satu piring dan satu baki lalu ditutup.Sedangkan untuk wanitanya dijamu
dengan ‘dulang’ (baki bundar besar). Pesona lainnya dari ‘karaeng’ adalah
masyarakat masih menaruh kepercayaan kepadanya untuk menjadi
pemimpinnya,terutama bangsawan ‘karaeng’ yang berakhlak mulia dan
berpendidikan.
Keberadaan
‘karaeng’ dalam masyarakat nampak dari atributnya,antara lain pada namanya
memakai kata ‘Karaeng’ atau disingkat ‘Kr’; Penutup atap bagian depan rumahnya
biasanya teridiri dari tiga, empat,lima atau tujuh lapis/tingkat.Mengadakan
barzanji atau korongtigi selama minimal 3 malam berturut-turut saat melakukan
hajatan perkawinan atau sunatan,dan sebagainya.
Begitu
banyak keistimewaan atau pesona ‘karaeng’ dalam masyarakat sehingga ada
diantara bangsawan yang sebenarnya tidak memenuhi aturan adat berlomba-lomba
pula memakai gelar ‘karaeng’.Aturan adat ‘lontarak bilang’ yang dimaksud adalah
aturan bahwa yang berhak memakai gelar ‘karaeng’ adalah orang yang ayahnya
bergelar ‘karaeng’,dan kalau hanya ibunya yang bergelar ‘karaeng’ maka anaknya
tidak boleh memakai gelar ‘karaeng’.
3. Karaeng sebagai sapaan
Kata
‘karaeng’ biasa pula dipakai oleh masyarakat Kabupaten Jeneponto untuk menyapa
orang-orang yang dihormatinya.Sehingga ‘karaeng’ biasa dipakai untuk menyapa
orang yang bangsawan dan juga orang yang bukan bangsawan tergantung dari orang
yang menyapanya karena memandang orang tersebut patut dihormati,misalnya yang
biasa kita dengar dalam masyarakat mengucapkan ‘iyek,Karaeng’ (iya tuan yang
saya hormati);”Sengkaki Karaeng !” (mampirlah ke rumah,Tuan !),padahal yang
disapa tersebut belum tentu bergelar ‘karaeng’.Sapaan ini biasanya dipakai oleh
orang yang bukan bangsawan kepada bangsawan,atau orang yang bukan bangsawan
karena akhlaknya yang patut dihormati dan biasa pula dipakai oleh para pedagan
di pasar untuk menarik pembeli.
C.
Gelar Daeng
Pada Bangsawan Bugis Makassar
Gelar
“DAENG” pada hakikatnya tidak didapatkan begitu saja melainkan mengandung makna
yang beragam. maknanya antara lain:
Penghambaan dari nama Allah, kurang lebih sama dengan nama Islam yang ditambahi dengan Abdul. Misalnya Daeng Patoto. Patoto dalam lontara artinya pencipta, sehingga Daeng Patoto adalah hamba dari yang maha pencipta. Daeng Tanicalla, artinya tak tercela. Yang tak tercela hanyalah Allah SWT. Daeng Manaba, yang artinya penyayang, hamba dari yang maha penyayang;
Penghambaan dari nama Allah, kurang lebih sama dengan nama Islam yang ditambahi dengan Abdul. Misalnya Daeng Patoto. Patoto dalam lontara artinya pencipta, sehingga Daeng Patoto adalah hamba dari yang maha pencipta. Daeng Tanicalla, artinya tak tercela. Yang tak tercela hanyalah Allah SWT. Daeng Manaba, yang artinya penyayang, hamba dari yang maha penyayang;
Berasal
dari kata benda Makassar “pakdoangang” dari akar kata “doa” dan harapan. Ada
beberapa “pakadengang” yang
dapat masuk dalam kategori ini, misalnya:, Daeng Bau, agar yang bersangkutan
memberikan nama harum bagi keluarga dan masyarakatnya. Daeng Nisokna, yang
diimpikan, yang dicita-citakan. Daeng Gemilang, agar tampil lebih gemilang.
Daeng Nikeknang, agar selalu dikenang. Daeng Kanang agar ia cantik, Daeng Baji
agar dia baik hati, Daeng Puji agar dia menyenangkan;

Penegasan bahwa dia juga adalah golongan
bangsawan: Daeng Memang, artinya dia memang “daeng”, Daeng Tonji, yang artinya,
diapun “daeng”. Daeng Tommi,yang artinya sebelumnya dia bukan daeng tetapi
sekarang diapun sudah “daeng”. Daeng Tadaeng artinya, “daeng” atau bukan,
baginya sama saja;
Panutan , yang diambil dari nama tokoh yang sukses karena kejujurannya atau keberaniannya atau kepintarannya, dan atau kekayaannya, tanpa terlalu memperhatikan makna dari “pakdaengang” itu.
Panutan , yang diambil dari nama tokoh yang sukses karena kejujurannya atau keberaniannya atau kepintarannya, dan atau kekayaannya, tanpa terlalu memperhatikan makna dari “pakdaengang” itu.
“DAENG”, juga bisanya diberikan kepada
seseorang yang berjasa, dan gelar itu disesuaikan dengan keadaan orang itu.
Seorang berkebangsaan Amerika diberi gelar daeng yaitu Daeng Rate, karena
kebetulan orangnya tinggi.
Saat ini gelar-gelar paddaengang telah mengalami pergeseran. Anak-anak muda suku Makassar mungkin masih tetap mendapat nama paddaengang dari orang tua mereka, tapi hanya sedikit sekali yang mau memakainya. Alasan utamanya karena nama paddaengang berkesan ketinggalan jaman atau jadul istilah anak sekarang. Apalagi karena nama daeng saat ini identik dengan masyarakat golongan kelas bawah di kota Makassar, misalnya tukang becak, tukang sayur, tukang ikan, dll.
Saat ini gelar-gelar paddaengang telah mengalami pergeseran. Anak-anak muda suku Makassar mungkin masih tetap mendapat nama paddaengang dari orang tua mereka, tapi hanya sedikit sekali yang mau memakainya. Alasan utamanya karena nama paddaengang berkesan ketinggalan jaman atau jadul istilah anak sekarang. Apalagi karena nama daeng saat ini identik dengan masyarakat golongan kelas bawah di kota Makassar, misalnya tukang becak, tukang sayur, tukang ikan, dll.
Selain itu, penggunanya adalah orang-orang
yang punya hubungan sangat dekat atau kekeluargaan dengan orang lawan bicaranya
dan penggunannya sebatas dalam forum bersifat non-formal. Bila dua ketetuan ini
dilanggar, kata 'Daeng' jadi bermakna ejekan.
Masyarakat Bugis agak ketat memegang adat
yang berlaku, utamanya dalam hal perlapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat
yang tajam merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Bugis. Sejak masa pra
Islam masyarakat Bugis mudah mengenal stratifikasi sosial. Di saat terbentuknya
kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam
stratifikasi sosial dalam masyarakat. Startifikasi sosial ini mengakibatkan
munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.
Dalam suku Bugis jaman dulu dikenal 3 strata
sosial atau kasta.
Kasta tertinggi adalah Ana’ Arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi. Kasta berikutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (orang kebanyakan). Kasta terendah adalah kasta Ata atau budak.
Kasta tertinggi adalah Ana’ Arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi. Kasta berikutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (orang kebanyakan). Kasta terendah adalah kasta Ata atau budak.
Hanya orang-orang yang berkasta Ana’ Arung
dan To Maradeka yang berhak memberikan nama gelar pada keturunannya. Sementara
kasta Ata tidak berhak untuk menggunakan nama gelar. Bagi bangsawan Bugis,
gelarannya adalah “Andi“, sedangkan bagi To Maradeka bergelar Daeng.
Namun dalam perkembangannya, paggilan “Daeng”
saat ini memiliki makna yang beragam. Bisa berarti kakak, bisa pula bermakna
kelas sosial. Namun demikian penggunaannya harus berhati-hati. Apalagi saat
ini, penggunaan kata Daeng untuk memanggil seseorang sering ditujukan untuk
masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Misalnya, daeng becak (penarik becak),
daeng sopir pete-pete (sopir angkot), daeng kuli bangunan dan lain sebagainya.Di
Sulawesi Selatan, khususnya penghormatan kepada tokoh Bugis termasuk di
dalamnya bangsawan biasanya dilakukan dengan menggunakan kata panggilan
“Puang”, bukan “Daeng”.
Asal mula gelar Andi, dr keluarga bangsawan bugis dan gowa , diambil dr raj Andi Mappanyukki, karaeng ma'gauka Raja bone ke 32. Anak dr raja gowa I'Makkulau Daeng Serang Karaengta Lembang Parang Sultan Husain Tu Ilang ri Bundu’na (Somba Ilang)
BalasHapusSebelum ad gelar Andi namanya ,klo keturunan bangsawan bugis nama" LA"....kalo di gowa nama " I " sbgai gelar kebangsawanan
Karna banyk mengambil gelar yg tdk sepantas makanya" LA "dgn "I" diganti dgn Nama ANDI. Dan gelarr andi pun masih bnyk yg tdk pantas memakainya, terkdng yg bukan andi, daeng ,puang atau bau di pakai, yg bukan dr keturunan bangsawan, krna ingin diakui sbgai keluarga bangsawan ato yg berketurunan. Barangsiapa yg mengaku2, bukan sbgai keturunan dr ayahnya akan disediakan tempat duduknya dr api neraka
HapusOrang yang mengaku-ngaku dgan sesuatu yg tidak dia miliki maka dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 2129 dari Hadits Aisyah radliyallahu’anha)
Disebutkan dalam hadits-hadits shahih tentang keharaman seseorang menisbatkan dirinya kepada selain nasabnya. Diantara hadits Abu Dzar radliyallahu’anhu, bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.[4] (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112)
Dan dalam Shahih al-Bukhori, No. 3509 dari hadits Watsilah bin al-Asqa’zia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Seungguhnya sebesar-besar kedustaan adalah penisbatan diri seseorang kepada selain ayahnya atau mengaku bermimpi sesuatu yang tidak dia lihat, atau dia berkata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusSmoga bermanfaat sbgai khazanah ilmu
BalasHapusDan banyak pun yg mengaku Andi, karaeng ato puang, bau, atau daeng. Hnya memiliki dr garis keturunan ibunya saja, bkn dr garis keturunan ayahnya/bapaknya. Menurut saya ini yg salah.
HapusAku anak puang, nmku mau dikasih Andi dpnnya oleh ayahku yg keturunan raja asal suku bugis tp ibuku org Jawa nolak hehe....kata ibuku keluarga ayahku punya ilmu sakti macam" contoh kakek ayahku bisa jalan diatas air, pamanku kebal dikeroyok 10 org, Wallahu alam
HapusIjin share...menambah wawasan
BalasHapusSaya lahir dan besar di Kota Poso, Sulawesi Tengah tapi Ayah saya Suku Bugis Soppeng & Sengkang waktu saya kecil, saya pulang ke Makassar, Nenek dan Kakek saya di Panggil Puang oleh keluarga saya fikir semua Nenek dan Kakek di Suku bugis di panggilnya Puang, ternyata tidak, karena sepupu sekali dua kali saya yang masih Pure suku Bugis manggil Ayah dan Adik-Adik Ayah saya juga Puang.
BalasHapusDan iya saya pernah menanyakan soal itu ke Adik Ayah saya, katanya tidak semua orang bisa di panggil dengan gelar Puang ataupun Andi sesuai dengan penjelasan di atas, sampai suatu saat saya punya tetangga yang orang bugis juga awalnya tetangga saya itu manggil Adik Papa saya dengan sebutan Tante tapi setelah mereka bercerita tentang asal usul karena satu daerah di sengkang, keesokkannya kalau ketemu dia manggil Adik Ayah saya Puang,
BalasHapusBapak dan kakek serta datuk kami bergelar petta. Apakh gelar petta itu?
BalasHapusSaya memanggil bapak saya TETTA dan bapak saya mempunyai dua nama nama biasa dan nama pa'daengang,
BalasHapusDan sya jga diberi nama pa'daengang
Kakek buyut saya asalnya dari bugis sehingga ada nama pua àtau puang di depan nama anaknya laki-laki
BalasHapus