Istilah Kebangsawanan Dalam Adat Bugis Makassar



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebutan Andi, Karaeng,  dan Daeng atupun Puang sering kita dengar dalam istilah Bugis Makassar. Sebutan ini  mrupakan bentuk penghargaan atau penanda status kebangsawanan seseorang. Namun di zaman rewasa ini sebutan ini perlu diperkenalkan bagi generasi-generasi muda.
 Di dalam kemasyarakatan bugis maupun makassar dikenal dengan adanya tradisi kebudayaan dan adat istiadat dimana kebudayaan dan adat itu berasal dari para Leluhur mereka dimasa kerajaan dahulu kala yang merupakan kebiasaan serta tradisi dalam hubungan bermasyarakat. Atda aturan tertentu yang telah diatur dan ditetapkan oleh dewan adat kerajaan atau biasa kita dengar Pangngadakkan dengan salah satu contoh yaitu. mengenai Gelar atau Panggilan khusus bagi para kaum bangsawan serta orang-orang biasa. Ada beberapa panggilan atau gelar yang dilekatkan pada kaum bangsawan antara lain : Gelar Puang,Gelar Dato' (Datuk), Gelar Karaeng,Tetta/Petta/Etta, Opu/Bau, Daeng, serta Andi. Dalam masyarakat bugis makassar lazim kita dengar dengan adanya beberapapa sebutan atau gelar sebagian orang-orang bugis dan makassar. Namun tak semuanya dapat dipanggil dan digelar seperti itu, hanya sebagian orang bugis makassar yang memang pantas dipanggil seperti itu yaitu yang asalnya dari darah bangsawan. Atau keturunan raja.*Gelar Puang" Panggilan puang ini dapat kita lekatkan kepada sang pencipta yaitu Allah SWT yang biasa kita sebut Puatta Marajae, Tuhan yang kuasa atas segalanya atau Puang Allahu SWT Namun dapat juga dilekatkan pada manusia sebagai perwakilan Tuhan dimuka bumi yang menyandang sebagai khalifa Allah yang mulia disisi Allah SWT. Manusia dapat di gelar sebagai puang dimuka bumi ini tak lain adalah para kaum penguasa atau seorang Raja yang baik, arif, dan bijaksana, serta adil dan memiliki keberanian. Disinilah kemulian yang melekat pada diri seoarang manusia ketika dia di gelar sebagai Sang Puang. Dan bukan sekedar gelaran saja tetapi suatu tanggung jawab yang besar untuk menjaga nama dan reputasi Kepuangannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah asal usul dan penggunaan Gelar Andi pada Bangsawan suku Bugis Makassar ?
2.      Bagaimanakah asal usul dan penggunaan Gelar Karaeng  pada Bangsawan suku Bugis Makassar?
3.      Bagaimanakah asal usul dan penggunaan Gelar Daeng  pada Bangsawan suku Bugis Makassar?
4.       
C.            Tujuan
1.      Mengetahui  asal usul dan penggunaan Gelar Andi pada Bangsawan suku Bugis Makassar.
2.      Mengetahui  asal usul dan penggunaan Gelar Karaeng  pada Bangsawan suku Bugis Makassar.
3.      Mengetahui asal usul dan penggunaan Gelar Daeng  pada Bangsawan suku Bugis Makassar.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Gelar Andi Pada Bangsawan Bugis
Asal-usul gelar andi yang disematkan di depan nama bangsawan bugis memang menjadi pertanyaan banyak orang. Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan ataupun cerita orang-orang tua dulu tentang awal mula munculnya gelar andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang dapat menunjukkan bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan rujukan mutlak.
Dari beberapa sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara singkat tentang penggunaan nama Andi sebagai gelar yang digunakan para bangsawan Bugis. Sebutan “Andi” adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil genetis (keturunan) Lapatau, pasca Bugis merdeka dari orang Gowa.” Andi” ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan putri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes.
Perkawinan tersebut sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengendalikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan bumi sawerigading (Celebes).
Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jendral Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis, tetapi beliau enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC. Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi beliau tidak memakai gelar “Andi” karena bukan keturunan langsung Lapatau.
Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam “Lontara” tetapi ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama “Andi” tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah “Rompana Bone“. Dalam menghadapi Belanda dibentuklah pasukan khas yaitu pasukan “Anre Guru Ana’ Karung” yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam pasukan tersebut tidak di batasi hanya kepada anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang orangtuanya mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak pabbicara’e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to meredaka. Mereka mempunyai ilmu sebagai “Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti“. Anggota pasukan tersebut disapa dengan gelaran “Andi” sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demi patettong’ngi alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan rajanya).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizU43UObS5WrLDgICSFujfsMgYntP2rQn89YdKUoQNvrL1R1wl7yzxpFkgZt_20bOm0J0aKQIGeVDpYacpJVyzqy6rA-bxPAU-fufQmFywu5djcXBUZk0DOrDVg59nhKFC6HAP-vcCH-8/s1600/20150314-andi.jpg
Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelaran “Andi” atau “Petta” dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan “Nigatu Wija idi’ Baco/Baso? (anda keturunan siapa Baso/Baco?). Baso/Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika mereka menjawab “Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah hambanya Petta Pole)”, maka Petta Imam Poke mengatakan “Koki tudang ana baco/baso” (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya, maka nyatalah bahwa “Andi” mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta mengatakan “oohh, enreki mai ana baco” sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah “Andi” mereka pakai karena geleran bagi anak ponggawa kampong (panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam pasukan khas tersebut.
Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar “Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.
Kelihatannya kita harus membuka lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung juga semakin sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri Passalama’e Anre Gurutta H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar mesjid Raya Bone)…
Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis Weddings’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).
Penggunaan Andi saat itu juga beragam di setiap kerajaan. Soppeng misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh.
Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada sejak adanya kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau. Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya.

Gelar kebangsawanan lainnya, mengikut kepada pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain. Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.

Adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul.
          Gelar “Andi” baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi/Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda) untuk Onder Afdeling. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap kemerdekaan/penjajahan.
Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang/kampung/wanua sebelum datangnya To Manurung/To Tompo. Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung dengan nama alias/gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama kampung/kondisi/perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok anang/masyarakat maupun secara kekerasan (peperangan bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi/kuat.
Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, ‘asal usul’ dan ‘namanya’ kadang-kadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok dikalangan kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang berarti pula pondasi dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk –dimana tanah/wilayah, pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah terpenuhi.
Penguasa/Raja biasanya kawin dengan sesama To Manurung/To Tompo [jika dia 'ada'/muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar,  barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai diterapkan oleh Arung Palakka.
FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU) Tahun 1871-1895
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa.
Yang menjadi tanda tanya adalah : Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama/gelar itu sebelumnya?
Mengapa kata ‘Andi’ yg digunakan/disepakati sebagai penandaan gelar bagi kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden atau Uwak atau dan lain-lain?
Urgensi tata cara pandangan dalam asal-usul Andi itu sebenarnya karena tata cara pandang tergantung nara sumber data yang dimilki.Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu :  Apabila yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu : Apakah pemberian nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?
Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah  pemberian Belanda telah gugur. Apabila data yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu hingga mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak hingga Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Kerajan Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong.
Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis hingga Inggris sulit menyebut huruf “R”.
Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat luar melekatkan nama Andi didepannya.menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki).
Dari beberapa uraian yang dipaparkan di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelar “Andi” bagi bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.

B.       Gelar Karaeng Pada Bangsawan Bugis Makassar
    Menurut sejarah,bahwa asal mula ‘karaeng’ adalah ‘daeng’.Ketika bentuk pemerintahan “kakarean” di bumi Turatea berubah menjadi “kakaraengan’ maka beberapa perwakilan masyarakat diberi amanah untuk mencari seorang untuk diangkat menjadi raja ‘karaeng’,maka dipilihlah diantara bangsawan yang bergelar ‘daeng’ menjadi ‘karaeng’ dan namanya tetap memakai Daeng,seperti Raja/Karaeng pertama Kakaraeng Binamu,Makgaukan Daeng Riolo Karaeng Binamu I, Raja/Karaeng Tolo pertama,Pateala Daeng Nyauru Karaeng Tolo,jadi gelar ‘karaeng’ diikuti nama tempat/kerajaannya.Yang dipilih menjadi ‘Karaeng’ adalah orang yang berakhlak mulia,antara lain jujur,ramah,rendah hati,tekun beribadah,cerdas,teguh pendirian,bertanggung jawab,berani dalam kebenaran,beriman dan taat beribadah kepada Allah,dan sebagainya.
Dari sifat-sifat ‘karaeng’ yang diinginkan oleh masyarakat tersebut di atas maka jelaskan bahwa bangsawan ‘karaeng’ yang sesungguhnya adalah keluhuran budi pekerti,bukan dilihat dari keturunannya. R.A Kartini dalam buku “RA Kartini alam Sebuah Biografi” mengatakan bahwa bangsawan yang sesungguhnya adalah bangsawan budi pekerti.Dengan demikian,’karaeng’ dalam masyarakat Jeneponto dibagi atas dua kelompok,yaitu Karaeng karena keluhuran budi pekertinya dan karaeng karena keturunan.Karaeng karena keluhuran budi pekertinya itulah yang selalu dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi pemimpinnya,baik sebagai kepala desa mapun sebagai bupati.Karaeng hanya karena keturunan semata kadang tidak tahu apa itu karaeng sehingga perbuatannya kadang keluar dari garis ‘kekaraengan’nya,antara lain berakhlak buruk,seperti minum-minuman keras,berjudi,bermain perempuan,terlibat pencurian dan sebagainya.Karaeng seperti ini biasanya kurang dihormati dalam masyarakat karena sesungguhnya yang dihormati masyarakat buka gelarnya melainkan akhlak kebangswanannya.
Dalam masyarakat Islam Kabupaten Jeneponto,‘Karaeng’ dipakai pula untuk menyeru nama Allah,seperti ketika berdoa diucapkan “Oh Karaeng” atau “Oh Karaeng Lompo”.Dalam ceramah-ceramah atau khutbah Jumat pun kadang ada ustaz yang mengucapkan “Karaeng Allah Taala” atau “nakana Karaeng Allah Taala” (Firman Allah).Gelar ‘Karaeng’ yang sesungguhnya gelar untuk manusia dipakai pula sebagai gelar Allah”,hal ini tentu kurang pantas kita lakukan karena telah menyamakan sapaan atau gelar manusia dengan gelar Tuhan/Allah,bukankah dalam Islam kita tidak boleh menyamakan sesuatu apapun antara Allah dengan ciptaan-Nya ?.
Telah disampaikan dalam Al Quran bahwa Allah memiliki nama-nama yang agung (asma-ul husna),dalam berdoa adau dalam berkomunikasi dengan Allah kita disyariatkan memakai asma-ul husna dan kita diperintahkan untuk meninggalkan orang-orang yang menyimpan dari penyebutan nama Allah (QS.Al A’raaf:180 ),dengan demikian,menutut ayat ini kita dilarang menyebut-nyebu atau menyeru Allah dengan sebutan di luar asma-ul husna,seperti menyeruhnya “oh Karaeng Lompo” sedangkan ada manusia yang juga bernama Karaeng Lompo.
Karaeng dalam masyarakat Islam kadang menjadi ajang keosombongan bagi pemakainya,karena mereka menganggap dirinya lebih tinggi keturunannya daripada manusia lainnya yang bukan bangsawan, diantaranya ada yang mengikuti kepercayaan/mitos bahwa nenek moyang bangsawan berasal dari dunia khayangan ‘tomanurun’ atau turun dari khayangan/langit.padahal Allah sangat membenci orang-orang sombong lagi membangga-banggakan diri,dan Islam telah mengajarkan dihadapan Allah semua manusia adalah sama,kakek nenek kita memang orang turun dari khayangan/langit (Adam  dan Hawa), yang membedakannya hanyalah kadar ketakwaannya,bukan dari gelar kebangsawannya.Orang bangsawan dihadapan Allah adalah orang yang menyadari dirinya sebagai hamba Allah yang dibuktikan dengan ketaatan beribadah dan keluhuran budi pekertinya terhadap sesama manusia ,yang tidak meninggi-ninggikan diri dan tidak pula merendahkan sesamanya.Bangsawan ‘Karaeng’ yang sombong terhadap sesamanya dan terhadap Allah (malas beribadah) akan menikmati kelak ‘kekaraengan’ di dalam neraka yang disaksikan oleh-orang yang pernah dihina atau direndahkannya.
Bagi Masyarakat Suku Makassar,’Karaeng’ mengandung tiga makna,yaitu karaeng sebagai gelar jabatan pemerintahan;karaeng sebagai gelar bangsawan dan karaeng sebagai sapaan penghormatan.

1.      Karaeng sebagai gelar jabatan pemerintahan.
Sebelum tahun 1867 masyarakat dan wilayah Turatea (nama lain Jeneponto) berada dalam kekuasaan Sombayya Ri Gowa (Kerajaan Gowa),Payunga Ri Luwu (Kerajaan Luwu), dan Arung Ri Bone (Kerajaan Bone).Pemerintahan di wilayah Turatea berbentuk ‘Kakareang’,yang rajanya disebut ‘Kare’.Wilayah Turatea terbagi atas beberapa ‘kakareang’,antara lain Kakareang Layu,Kakareang Tolo,Kakareang Manjang Loe,Kakareang Tina’ro dan lainnya sebagai wilayah Kerajaan Gowa.Kakareang Kakareang Rumbia sebagai wilayah Kerajaan Luwu,sedangkan Kakareang Tarowang sebagai wilayah Kerajaan Bone.Namun setelah memerdekakan diri dari kekuasaan kerajaan lain,maka kekareang tersebut membentuk kerajaan sendiri yang disebut ‘Kakaraengan’ yang rajanya disebut ‘Karaeng’.Karaeng diletakkan antara nama diri dengan nama kakaraengan,seperti Makgaukan Daeng Riolo Karaeng Binamu I, Pateala Daeng Nyauru Karaeng Tolo I,Karaeng Bontorappo,Karaeng Rumbia,Karaeng Arungkeke dan sebagainya.
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 pemerintahan yang berbentuk kerajaan ‘kakaraengan’ di Bumi Turatea diubah menjadi Bupati,begitupun pemerintahan di bawahnya menjadi kecamatan, desa atau lurah,maka ‘Karaeng’ sebagai gelar pejabat pemerintahan berangsur-angsur tak terpakai lagi.

2.      Karaeng sebagai gelar kebangsawanan
Setelah gelar ‘karaeng’ sebagai gelar jabatan pemerintahan tidak populer lagi maka para keluarga bangsawan turunan raja berusaha mempertahankan jati diri kebangsawanan sebagai turunan keluarga raja maka dipakailah ‘karaeng’ sebagai gelar kebangswanan khusus keluarga turunan raja,yang waktu itu disepakati melalui aturan adat istiadat yang disebut ‘Lontarak Bilang’ bahwa yang boleh memakai gelar ‘karaeng’ hanyalah turunan raja/‘karaeng’.Dan dari lontarak bilang diketahui bahwa masyarakat Jeneponto menganut sistem kekerabatan ‘Patrilinear,yaitu kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ayah.Dalam aturan adat tersebut ditetapkan bahwa yang berhak memakai gelar ‘karaeng’ adalah bangsawan yang ayahnya seorang ‘karaeng’ sedangkan ibu (bangsawan karaeng atau tidak) tidaklah menjadi persoalan.Bilamana seorang wanita bangsawan karaeng kawin dengan lelaki yang bukan bangsawan karaeng,maka hak memakai gelar ‘bangsawan ‘karaeng’ akan hilang secara adat,dan masyarakatpun menjulukinya sebagai orang yang ‘attakbura minnyak’ (tertumpah minyak),artinya gelar ‘karaeng’nya tidak bisa dipungut lagi dan harus mengikuti garis keturunan ayah yang bukan ‘karaeng’.
‘Karaeng” sebagai gelar bangsawan memiliki pesona tersendiri dalam masyarakat.Karaeng akan memberi kharisma pemakainya bilamana dihiasi dengan akhlak yang mulia,seperti ramah,suka menolong dan tidak membeda-bedakan dalam pergaulan.Dalam masyarakat, ‘karaeng’ biasa diperlakukan lebih istimewa daripada masyarakat yang lain,misalnya di kampung penulis,Palajau Desa Palajau Kecamatan Arungkeke Kab.Jeneponto,bilamana ada masyarakat yang bukan bangsawan melakukan hajatan dan pada suatu jamuan bersama dengan orang-orang lainnya,orang yang berlabel ‘karaeng’ ditempatkan di posisi yang teratas,dijamu dengan cangkir kembar (dua cangkir minumannya),piring makanannya dialas dua lapis ,satu piring dan satu baki lalu ditutup.Sedangkan untuk wanitanya dijamu dengan ‘dulang’ (baki bundar besar). Pesona lainnya dari ‘karaeng’ adalah masyarakat masih menaruh kepercayaan kepadanya untuk menjadi pemimpinnya,terutama bangsawan ‘karaeng’ yang berakhlak mulia dan berpendidikan.
Keberadaan ‘karaeng’ dalam masyarakat nampak dari atributnya,antara lain pada namanya memakai kata ‘Karaeng’ atau disingkat ‘Kr’; Penutup atap bagian depan rumahnya biasanya teridiri dari tiga, empat,lima atau tujuh lapis/tingkat.Mengadakan barzanji atau korongtigi selama minimal 3 malam berturut-turut saat melakukan hajatan perkawinan atau sunatan,dan sebagainya.
Begitu banyak keistimewaan atau pesona ‘karaeng’ dalam masyarakat sehingga ada diantara bangsawan yang sebenarnya tidak memenuhi aturan adat berlomba-lomba pula memakai gelar ‘karaeng’.Aturan adat ‘lontarak bilang’ yang dimaksud adalah aturan bahwa yang berhak memakai gelar ‘karaeng’ adalah orang yang ayahnya bergelar ‘karaeng’,dan kalau hanya ibunya yang bergelar ‘karaeng’ maka anaknya tidak boleh memakai gelar ‘karaeng’.

3.      Karaeng sebagai sapaan
Kata ‘karaeng’ biasa pula dipakai oleh masyarakat Kabupaten Jeneponto untuk menyapa orang-orang yang dihormatinya.Sehingga ‘karaeng’ biasa dipakai untuk menyapa orang yang bangsawan dan juga orang yang bukan bangsawan tergantung dari orang yang menyapanya karena memandang orang tersebut patut dihormati,misalnya yang biasa kita dengar dalam masyarakat mengucapkan ‘iyek,Karaeng’ (iya tuan yang saya hormati);”Sengkaki Karaeng !” (mampirlah ke rumah,Tuan !),padahal yang disapa tersebut belum tentu bergelar ‘karaeng’.Sapaan ini biasanya dipakai oleh orang yang bukan bangsawan kepada bangsawan,atau orang yang bukan bangsawan karena akhlaknya yang patut dihormati dan biasa pula dipakai oleh para pedagan di pasar untuk menarik pembeli.

C.                Gelar Daeng Pada Bangsawan Bugis Makassar
Gelar “DAENG” pada hakikatnya tidak didapatkan begitu saja melainkan mengandung makna yang beragam. maknanya antara lain:
Penghambaan dari nama Allah, kurang lebih sama dengan nama Islam yang ditambahi dengan Abdul. Misalnya Daeng Patoto. Patoto dalam lontara artinya pencipta, sehingga Daeng Patoto adalah hamba dari yang maha pencipta. Daeng Tanicalla, artinya tak tercela. Yang tak tercela hanyalah Allah SWT. Daeng Manaba, yang artinya penyayang, hamba dari yang maha penyayang;
Berasal dari kata benda Makassar “pakdoangang” dari akar kata “doa” dan harapan. Ada beberapa “pakadengang” yang dapat masuk dalam kategori ini, misalnya:, Daeng Bau, agar yang bersangkutan memberikan nama harum bagi keluarga dan masyarakatnya. Daeng Nisokna, yang diimpikan, yang dicita-citakan. Daeng Gemilang, agar tampil lebih gemilang. Daeng Nikeknang, agar selalu dikenang. Daeng Kanang agar ia cantik, Daeng Baji agar dia baik hati, Daeng Puji agar dia menyenangkan;
daeng1-1024x490.jpg









Penegasan bahwa dia juga adalah golongan bangsawan: Daeng Memang, artinya dia memang “daeng”, Daeng Tonji, yang artinya, diapun “daeng”. Daeng Tommi,yang artinya sebelumnya dia bukan daeng tetapi sekarang diapun sudah “daeng”. Daeng Tadaeng artinya, “daeng” atau bukan, baginya sama saja;
Panutan , yang diambil dari nama tokoh yang sukses karena kejujurannya atau keberaniannya atau kepintarannya, dan atau kekayaannya, tanpa terlalu memperhatikan makna dari “pakdaengang” itu.
“DAENG”, juga bisanya diberikan kepada seseorang yang berjasa, dan gelar itu disesuaikan dengan keadaan orang itu. Seorang berkebangsaan Amerika diberi gelar daeng yaitu Daeng Rate, karena kebetulan orangnya tinggi.
Saat ini gelar-gelar paddaengang telah mengalami pergeseran. Anak-anak muda suku Makassar mungkin masih tetap mendapat nama paddaengang dari orang tua mereka, tapi hanya sedikit sekali yang mau memakainya. Alasan utamanya karena nama paddaengang berkesan ketinggalan jaman atau jadul istilah anak sekarang. Apalagi karena nama daeng saat ini identik dengan masyarakat golongan kelas bawah di kota Makassar, misalnya tukang becak, tukang sayur, tukang ikan, dll.
Selain itu, penggunanya adalah orang-orang yang punya hubungan sangat dekat atau kekeluargaan dengan orang lawan bicaranya dan penggunannya sebatas dalam forum bersifat non-formal. Bila dua ketetuan ini dilanggar, kata 'Daeng' jadi bermakna ejekan.
Masyarakat Bugis agak ketat memegang adat yang berlaku, utamanya dalam hal perlapisan sosial. Pelapisan sosial masyarakat yang tajam merupakan suatu ciri khas bagi masyarakat Bugis. Sejak masa pra Islam masyarakat Bugis mudah mengenal stratifikasi sosial. Di saat terbentuknya kerajaan dan pada saat yang sama tumbuh dan berkembang secara tajam stratifikasi sosial dalam masyarakat. Startifikasi sosial ini mengakibatkan munculnya jarak sosial antara golongan atas dengan golongan bawah.
Dalam suku Bugis jaman dulu dikenal 3 strata sosial atau kasta.
Kasta tertinggi adalah Ana’ Arung (bangsawan) yang punya beberapa sub kasta lagi. Kasta berikutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (orang kebanyakan). Kasta terendah adalah kasta Ata atau budak.
Hanya orang-orang yang berkasta Ana’ Arung dan To Maradeka yang berhak memberikan nama gelar pada keturunannya. Sementara kasta Ata tidak berhak untuk menggunakan nama gelar. Bagi bangsawan Bugis, gelarannya adalah “Andi“, sedangkan bagi To Maradeka bergelar Daeng.
Namun dalam perkembangannya, paggilan “Daeng” saat ini memiliki makna yang beragam. Bisa berarti kakak, bisa pula bermakna kelas sosial. Namun demikian penggunaannya harus berhati-hati. Apalagi saat ini, penggunaan kata Daeng untuk memanggil seseorang sering ditujukan untuk masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Misalnya, daeng becak (penarik becak), daeng sopir pete-pete (sopir angkot), daeng kuli bangunan dan lain sebagainya.Di Sulawesi Selatan, khususnya penghormatan kepada tokoh Bugis termasuk di dalamnya bangsawan biasanya dilakukan dengan menggunakan kata panggilan “Puang”, bukan “Daeng”.

Komentar

  1. Asal mula gelar Andi, dr keluarga bangsawan bugis dan gowa , diambil dr raj Andi Mappanyukki, karaeng ma'gauka Raja bone ke 32. Anak dr raja gowa I'Makkulau Daeng Serang Karaengta Lembang Parang Sultan Husain Tu Ilang ri Bundu’na (Somba Ilang)

    Sebelum ad gelar Andi namanya ,klo keturunan bangsawan bugis nama" LA"....kalo di gowa nama " I " sbgai gelar kebangsawanan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karna banyk mengambil gelar yg tdk sepantas makanya" LA "dgn "I" diganti dgn Nama ANDI. Dan gelarr andi pun masih bnyk yg tdk pantas memakainya, terkdng yg bukan andi, daeng ,puang atau bau di pakai, yg bukan dr keturunan bangsawan, krna ingin diakui sbgai keluarga bangsawan ato yg berketurunan. Barangsiapa yg mengaku2, bukan sbgai keturunan dr ayahnya akan disediakan tempat duduknya dr api neraka

      Orang yang mengaku-ngaku dgan sesuatu yg tidak dia miliki maka dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 2129 dari Hadits Aisyah radliyallahu’anha)

      Disebutkan dalam hadits-hadits shahih tentang keharaman seseorang menisbatkan dirinya kepada selain nasabnya. Diantara hadits Abu Dzar radliyallahu’anhu, bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

      “Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.[4] (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112)

      Dan dalam Shahih al-Bukhori, No. 3509 dari hadits Watsilah bin al-Asqa’zia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

      “Seungguhnya sebesar-besar kedustaan adalah penisbatan diri seseorang kepada selain ayahnya atau mengaku bermimpi sesuatu yang tidak dia lihat, atau dia berkata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  2. Smoga bermanfaat sbgai khazanah ilmu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan banyak pun yg mengaku Andi, karaeng ato puang, bau, atau daeng. Hnya memiliki dr garis keturunan ibunya saja, bkn dr garis keturunan ayahnya/bapaknya. Menurut saya ini yg salah.

      Hapus
    2. Aku anak puang, nmku mau dikasih Andi dpnnya oleh ayahku yg keturunan raja asal suku bugis tp ibuku org Jawa nolak hehe....kata ibuku keluarga ayahku punya ilmu sakti macam" contoh kakek ayahku bisa jalan diatas air, pamanku kebal dikeroyok 10 org, Wallahu alam

      Hapus
  3. Ijin share...menambah wawasan

    BalasHapus
  4. Saya lahir dan besar di Kota Poso, Sulawesi Tengah tapi Ayah saya Suku Bugis Soppeng & Sengkang waktu saya kecil, saya pulang ke Makassar, Nenek dan Kakek saya di Panggil Puang oleh keluarga saya fikir semua Nenek dan Kakek di Suku bugis di panggilnya Puang, ternyata tidak, karena sepupu sekali dua kali saya yang masih Pure suku Bugis manggil Ayah dan Adik-Adik Ayah saya juga Puang.

    BalasHapus
  5. Dan iya saya pernah menanyakan soal itu ke Adik Ayah saya, katanya tidak semua orang bisa di panggil dengan gelar Puang ataupun Andi sesuai dengan penjelasan di atas, sampai suatu saat saya punya tetangga yang orang bugis juga awalnya tetangga saya itu manggil Adik Papa saya dengan sebutan Tante tapi setelah mereka bercerita tentang asal usul karena satu daerah di sengkang, keesokkannya kalau ketemu dia manggil Adik Ayah saya Puang,

    BalasHapus
  6. Bapak dan kakek serta datuk kami bergelar petta. Apakh gelar petta itu?

    BalasHapus
  7. Saya memanggil bapak saya TETTA dan bapak saya mempunyai dua nama nama biasa dan nama pa'daengang,
    Dan sya jga diberi nama pa'daengang

    BalasHapus
  8. Kakek buyut saya asalnya dari bugis sehingga ada nama pua àtau puang di depan nama anaknya laki-laki

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK