PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK



MAKALAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
“PERKEMBANGAN MORAL”

Disusun Oleh:
Nurfadila MY                       1647041031
Welsi Tiara Reata                  1647440002
Arindah Pratiwi                     1647042014
Amalia Kusmalasari              1647440006
Ardiansyah                            1647440001
                                                KELAS BC.5.1
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (BILINGUAL)
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat serta hidayah-Nya, sehigga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Perkembangan Moral”.
          Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Andi Sri Wahyuni,S.Pd, M.Pd  selaku dosen Perkembangan Peserta Didik.
Penulis menyadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mohon maaf apabila dalam makalah ini banyak kesalahan. Semoga bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.

                                                                             Makassar, 2 Desember 2016



Penyusun






ii
DAFTAR ISI
SAMPUL..................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
A.    Latar Belakang............................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah....................................................................................................... 1
C.     Tujuan......................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................ 3
A.    Pengertian Moral ........................................................................................................ 3  
B.     Tahap Perkembangan Moral ....................................................................................... 4
C.     Perkembangan Kesadaran Moralitas Anak ................................................................ 7
D.    Perkembangan Moral Anak Indonesia........................................................................ 11
BAB III PENUTUP.................................................................................................................... 13
A.    Kesimpulan................................................................................................................. 13
B.     Kritik Dan Saran......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 14


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Perkembangan moral awalnya dipusatkan pada disiplin yaitu jenis disiplin yang terbaik untuk mendidik anak yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada penyesuaian pribadi dan sosial. Secara bertahap bergeser ke arah perkembangan moral kepola yang normal untuk aspek perkembangan ini dan usia seorang anak dapat diharapkan bersikap sesuai dengan cara yang disetujui masyarakat. Dengan adanya peningkatan yang serius dalam kenakalan remaja, minat untuk mempelajari penyebab, penanganan, dan pencegahan menjadi sasaran perhatian psikologi dan sosiologi. Mula-mula minat ini terbatas pada penelitian remaja karena sesungguhnya, anak-anak tidak dianggap “anak nakal” betapapun jauhnya penyimpangan perilaku mereka dari standar yang disetujui masyarakat.
Dalam dua dasawarsa terakhir, studi psikologi mengenal perkembangan moral telah dipacu oleh teori-teori yang didasarkan atas hasil-hasil penelitian sehubungan dengan pola perkembangan moral pada masa kanak-kanak dapat diramalkan. Teori terbaik dan yang paling berpengaruh adalah teori Piaget dan teori Kohlberg.
Manusia sulit bersikap netral terhadap perkembangan moral. Banyak orang tua kuatir bahwa anak-anak mereka bertumbuh tanpa nilai-nilai tradisional. Para guru mengeluh bahwa murid-murid mereka tidak sopan. Didalam makalah ini kita akan membahas tentang perkembangan moral, pandangan Piaget tentang pertimbangan moral anak-anak berkembang, hakikat perilaku moral anak-anak, dan perasaan anak-anak menyubang bagi perkembangan moral mereka.

B.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian moral ?
2.      Bagaimana tahap – tahap perkembangan moral ?
3.      Bagaimana perkembangan moral pada anak ?
4.      Bagaimana perkembangan moral anak Indonesia ?
C.      TUJUAN
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah penulis ingin menjelaskan:
1.      Pengertian moral.
2.      Tahap – tahap perkembangan moral.
3.      Perkembangan moral pada anak.
4.      Perkembangan moral anak Indonesia.
























BAB II
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN MORAL
Moral yang merupa­kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin­dari hal-hal tindakan yang buruk.
          Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh.
Lalu, berbagai pengertian tentang moral banyak bermunculan, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini:
·         Pengertian Moral Menurut Chaplin (2006): Moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku.
·         Pengertian Moral Menurut Hurlock (1990): moral adalah tata cara, kebiasaan, dan adat peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya.
·         Pengertian Moral Menurut Wantah (2005): Moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah laku
B.       TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL
1.      Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
·         Tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
·         Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
2.      Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
·         Tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…'.
·         Tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
3.      Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakikat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
·         Tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.[8] Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
·         Tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant[13]). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
C.      Perkembangan Kesadaran Moralitas Anak
Tahapan Perkembangan Moral Anak Usia Dini menurut para ahli. Pengertian moral adalah sesuatu yang berhubungan dengan penerapan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, dalam perbuatan yang seharusnya dilakukan dalam interaksi sosial. Menurut para ahli perkembangan anak di bawah ini terdapat kesamaan dalam perkembangan moral anak usia dini.
a.       Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget
        Menurut Piaget dalam pengamatan dan wawancara pada anak usia 4-12tahun menyimpulkan bahwa anak melewati dua tahap yang berbeda dalam cara berpikir tentang moralitas yaitu:

1.       Tahap Moralitas Heterogen
Anak usia 4-7 tahun menunjukkan moralitas heterogen, yaitu tahap pertama dari perkembangan moral. Anak berpikir bahwa keadilan dan peraturan adalah property dunia yang tidak bisa diubah dan dikontrol oleh orang. Anak berpikir bahwa peraturan dibuat oleh orang dewasa dan terdapat pembatasan-pembatasan dalam bertingkah laku.Pada masa ini anak menilai kebenaran atau kebaikan tingkah laku berdasarkan konsekuensinya, bukan niat dari orang yang melakukan. Anak juga percaya bahwa aturan tidak bisa diubah atau diturunkan oleh sebuah otoritas yang berkuasa. Anak berpikir bahwa mereka tidak berhak membuat peraturan sendiri, melainkan dibuatkan aturan oleh orang dewasa. Orang dewasa perlu memberikan kesempatan pada anak untuk membuat peraturan, agar anak menyadari bahwa peraturan berasal dari kesepakatan dan dapat diubah.
2.      Tahap Moralitas Otonomi
Usia 7 – 10 tahun, anak berada dalam masa transisi dan menunjukkan sebagian ciri-ciri dari tahap pertama perkembangan moral dan sebagian ciri dari tahap kedua yaitu moralitas otonom.Anak mulai sadar bahwa peraturan dan hokum dibuat oleh manusia, dan ketika menilai sebuah perbuatan, anak akan mempertimbangkan niat dan konsekuensinya. Moralitas akan muncul dengan adanya kerjasama atau hubungan timbal balik antara anak dengan lingkungan dimana anak berada
Pada masa ini anak percaya bahwa ketika meraka melakukan pelanggaran, maka otomatis akan mendapatkan hukumannnya. Hal ini seringkali membuat anak merasa khawatir dan takut berbuat salah.Namun, ketika anak mulai berpikir secara heteronom, anak mulai menyadari bahwa hukuman terjadi apabila ada bukti dalam melakukan pelanggaran.
Piaget yakin bahwa dengan semakin berkembang cara berpikir anak, anak akan semakin memahami tentang persoalan-persoalan social dan bentuk kerjasama yang ada didalam lingkungan masyarakat
b.      Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut Kohlberg
Selain Piaget, Kohlberg juga menekankan bahwa cara berpikir anak tentang moral berkembang dalam beberapa tahapan. Kohlberg menggambarkan 3 (tiga) tingkatan penalaran tentang moral, dan setiap tingkatannya memiliki 2 (dua) tahapan, yaitu :
1. Moralitas Prakonvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkatan terendah dari penalaran moral, pada tingkat ini baik dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan punishment (hukuman) eksternal.
·      Tahap satu, Moralitas Heteronom adalah tahap pertama pada tingkatan penalaran prakonvensional. Pada tahap ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, anak berpikir bahwa mereka harus patuh dan takut terhadap hukuman. Moralitas dari suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya.
Contoh : “Bersalah” dicubit. Kakak membuat adik menangis, maka ibu memukul tangan kakak (dalam batas-batas tertentu).
·      Tahap kedua, individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran. Pada tahap ini, anak berpikir bahwa mementingkan diri sendiri adalah benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, anak berpikir apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan imbalan atau pertukaran yang setara.
Jika ia berbuat baik, maka orang juga harus berbuat baik terhadap dirinya, anak menyesuaikan terhadap harapan social untuk memperoleh penghargaan.
Contoh : berbuat benar ia dipuji “ pintar sekali”.
3.      Moralitas Konvensional
Penalaran konvensioanal adalah tingkat kedua atau menengah dalam tahapan Kohlberg. Pada tahapan ini, individu memberlakukan standar tertentu , tetapi standar ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya oleh orang tua atau pemerintah.

Moralitas atas dasar persesuaian dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untukmempertahankan hubungan baik dengan mereka.

·         Tahap satu, ekspektasi interpersonal, hubungan dengan orang lain, pada tahap ini anak menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar penilaian moral. Pada tahap ini, seseorang menyesuaiakan dengan peraturan untuk mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubungan baik dengan mereka.
Contoh adalah mengembalikan krayon ketempat semula sesudah digunakan (nilai moral = tanggung jawab).
·         Tahap kedua, moralitas system social, pada tahap ini penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang keteraturan dimasyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban.Seseorang yakin bahwa bila kelompok social menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh kelompok, maka mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari keamanan dan ketidaksetujuan social.
Contohnya adalah bersama-sama membersihkan kelas, semua anggota kelompok wajib membawa alat kebersihan (nilai moral = gotong royong).

4.      Moralitas Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional merupakan tahapan tertinggi dalam tahapan moral Kohlberg, pada tahap ini seseorang menyadari adanya jalur moral alternative, dapat memberikan pilihan, dan memutuskan bersama tentang peraturan, dan moralitas didasari pada prinsip-prinsip yang diterima sendiri.
Ini mengarah pada moralitas sesungguhnya, tidak perlu disuruh karena merupakan kesadaran dari diri orang tersebut.
·         Tahap satu, hak individu, pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak, dan prinsip lebih utama. Seseorang perlu keluwesan dalam adanya modifikasi dan perubahan standar moral apabila itu dapat menguntungkan kelompok secara keseluruhan.
Contoh pada tahun ajaran baru sekolah memperkenankan orangtua menunggu anaknya selama lebih kuarang satu minggu, setelah itu anak harus berani ditinggal.
·         Tahap kedua, prinsip universal pada tahap ini, seseorang menyesuaikan dengan standar social dan cita-cita internal terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan untuk menghindari kecaman social (orang yang tetap mempertahankan moralitas tanpa takut dari kecaman orang lain).
Contohnya adalah anak secara sadar merapikan kamar tidurnya segera setelah ia bangun tidur dengan harapan agar kamarnya terlihat selalu dalam keadaaan rapih
D.    Pengembangan Moral Anak Indonesia
               Anak Indonesia memiliki perkembangan moral yang tidak jauh berbeda dengan anak di dunia pada umumnya. Faktor-faktor pembentuk munculnya perbedaan moral manusia diantaranya kenyataan hidup, tantangan yang dihadapi, dan harapan yang dicita-cita oleh komunitas manusia itu
sendiri. Bangsa Indonesia telah mengalami kemunduran menyangkut persoalan kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Sehingga bangsa ini butuh kembali menanamkan nilai-nilai moral yang dimiliki bangsa ini. Kemerosotan moral generasi muda, perlu penanganan yang lebih intensif dimana kita perlu menanamkan nilai moral sedini mungkin. Kemerosotan moral yang dialami bila tidak diberikan perhatian khusus akan berakibat buruk bagi generasi mendatang. Pendidikan moral merupakan salah satu pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama dalam penanaman nilai moral pada anak. Pendidikan moral perlu menjadi prioritas dalam kehidupan. Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu. Oleh karena itu, pendidikan nilai yang mengarah pada pembentukan moral yang sesuai dengan norma-norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia utuh dalam konteks sosialnya.
Akan tetapi, pada kenyataannya banyak terjadi masalah dalam penanaman moral pada anak. Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan yang signifikan, bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya dalam masyarakat. Untuk itu, perlu adanya pendidikan moral dalam usaha penanaman nilai moral pada anak.
               Masalah yang paling penting dalam pendidikan moral bagi anak Indonesia adalah bagaimana upaya kita sebagai seorang pendidik agar setiap perbedaan yang muncul dapat kita arahkan menjadi suatu materi pendewasaan sikap dan perilaku anak dalam sosialisasinya. Tidak ada salahnya kita sisipkan pendidikan multikultur kepada anak usia dini sesuai dengan tingkat dan pemahaman mereka.













BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa, Moral merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Spiritual merupakan kepercayaan peserta didik terhadap suatu keyakinan yang didasarkan pada adat istiadat maupun ketuhanan.
Dari kasus yang sudah dijelaskan diatas, peran orang tua, guru dan lingkungan sangat menunjang perkembangan moral anak. Selain itu kebiasaan yang diajarkan pada anak juga berpengaruh dalam perkembangan moralnya. Jika anak biasa diajarkan baik maka mereka akan sulit terpengaruh dengan lingkungan yang buruk bahkan walau mereka mempunyai sifat bawaan yang buruk, mereka akan berusaha merubahnya.
B.      SARAN
Peran orang tua, guru dan lingkungan sangat menunjang perkembangan moral anak. Selain itu kebiasaan yang diajarkan pada anak juga berpengaruh dalam perkembangan moralnya. Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk moral anak agar  moral anak bangs menjadi lebih baik.









DAFTAR PUSTAKA




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah Kebangsawanan Dalam Adat Bugis Makassar